SIMPONI LAUT
Laut.
Ya, inilah lautan.
Inilah
samudra.
Aku selalu terhibur, di setiap kali ada gemuruh datang dari tengah laut, dengan membawa gempuran ombak besar dan sampai tipis-tipis di pepasir pantai, tepat di kedua jari-jemari kaki.
Aku selalu terhibur, di setiap kali ada gemuruh datang dari tengah laut, dengan membawa gempuran ombak besar dan sampai tipis-tipis di pepasir pantai, tepat di kedua jari-jemari kaki.
Aku juga sangat terhibur, waktu angin halus menerpa bahu, tengkuk, dan rambut yang membuatnya terhempas ke kanan dan ke kiri.
Ombak ini memang serupa gempuran
bila datang. Kau lihat saja, pertama-pertama ia datar-datar saja, hingga
situasi berubah. Entah apa yang membuatnya seperti berkumpul dari tengah laut
sana, kemudian bergulung-gulung seperti kepulan asap kehijauan.
Ketika ia bergerak ke pesisir, ia sangat cepat, secepat irama gemuruh. Terakhir, ombak ini makin ringan bergerak menyisakan buih berwarna keperakan. Pantai apa ini? Ini adalah pesisir pantai hatiku. Siang malam aku terduduk di pantai ini. Kadang tercium aroma tertentu. Ah, itu aroma pikiran dan perasaanku sendiri. Ia serupa nyamuk, menggigit kulit dan membuatnya infeksi.
Konon, jikalau nyamuk Malaria, bisa mematikan. Wew, ini seperti ilusi De-Javu saja. Menggenang, seperti banjir bandang. Kalau kurang hati-hati, dinding-dinding jiwamu bisa retak, dan tidak akan jauh beda dengan Bendungan Situ Gintung ketika ia membandang kondang.
Ketika ia bergerak ke pesisir, ia sangat cepat, secepat irama gemuruh. Terakhir, ombak ini makin ringan bergerak menyisakan buih berwarna keperakan. Pantai apa ini? Ini adalah pesisir pantai hatiku. Siang malam aku terduduk di pantai ini. Kadang tercium aroma tertentu. Ah, itu aroma pikiran dan perasaanku sendiri. Ia serupa nyamuk, menggigit kulit dan membuatnya infeksi.
Konon, jikalau nyamuk Malaria, bisa mematikan. Wew, ini seperti ilusi De-Javu saja. Menggenang, seperti banjir bandang. Kalau kurang hati-hati, dinding-dinding jiwamu bisa retak, dan tidak akan jauh beda dengan Bendungan Situ Gintung ketika ia membandang kondang.
Gemuruh laut ini. Kalau kau tahu,
sangat menghibur hatiku. Andaikan aku beranjak sedikit ke tengah, gemuruh ini
mungkin akan memudar. Yang ada justru adalah gertakan ombak. Boleh jadi, aku
akan menjelma gemuruh betulan. Kalau sudah begitu, dunia dengan segala isinya,
tak lagi berarti. Atau, menjadi lebih berarti?
Karena itu, cukup di pesisir
pasir ini saja. Duduk di sini lebih lama. Gemuruh ini, teruslah kau di sini
menemani. Mungkin, aku akan lama di tempat ini. Aku tak sedang menunggu
matahari tenggelam di ufuk barat. Tidak. Aku duduk di sini, hanya demi
waktu saja.
Waktu-waktu, yang lama tak bisa kunikmati.
Di saat keramaian mulai terasa menggigil.
Dan, tiba-tiba teramat ingin menepi, menyepi,
dan sendiri.
Waktu-waktu, yang lama tak bisa kunikmati.
Di saat keramaian mulai terasa menggigil.
Dan, tiba-tiba teramat ingin menepi, menyepi,
dan sendiri.
Sungguh. Maukah kau menemaniku?[]
komentar-komentar:
komentar-komentar:
- Tamam Ayatullah Malaka Fajar@ seragammu kok masi PMI?? Cinta mati rupanya sejak dahulu?? Wah, emang fajar sekali kok, ha..
Nafilia@sopo yo? Sek tak tanya2 dulu, hehe24 November 2009 jam 11:47 · - Akhiriyati Sundari tulisanmu apik, Mam. kapan kau ke Jogja. akan ada bincang-bincang yang panjang.. seperti lautan yang luas dan lapang.24 November 2009 jam 11:56 ·
- Tamam Ayatullah Malaka ...
Sundari@wew..aku tertarik dg bincang2 sepanjang laut itu,namun..ow jogja!kpn??? iya kpn????
Nuyawa@aku senantiasa mendengarnya lo,itu isi hatiku! Whahaa
25 November 2009 jam 16:18 ·
Komentar
Posting Komentar