HILANGNYA PAK YAI?






Tiga orang manusia cangkrukan di warkop Kang Doel gelisah. Seperempat menit mereka tak saling bicara. Boleh jadi mereka sama-sama tidak sadar, mereka tidak saling bicara.
Brakkk!!

Bejo tiba-tiba menggebrak meja. Kontan dua temannya spontan berdiri. Kaget. Suasana sunyi jadi mendebarkan jantung.
“ada apa toh??!!” sambar Pailuk kesal karena kaget. Bejo acuh dan kembali duduk, sementara Paijo hanya geleng-geleng kepala dingin.
“Aku mumet.” Ungkap Bejo seperti bergumam.
“Sama!!” timpal Pailuk dan Paijo berbarengan. Bejo menunduk.
“Jangan ngikut-ngikut ndul!!” katanya agak menyentak.
“Siapa yang ikut-ikut?? Wong emang lagi mumet dab!” balas Pailuk tak mau kalah. Pailuk lalu bercerita dulu kalo lagi gagal panen ia sering ke Kiai Komar. Di sana hatinya jadi sejuk oleh tuntunan beliau.

“Kata beliau,” lanjut Pailuk.”Rizki tak usah dipikirin. Yang penting kerja keras dulu. Rizki wes diatur olehNya.”
“Lha, terus apa masalahnya?!!” kejar Bejo. Pailuk menghirup napas.
“Sekarang nggak bisa lagi ke Yai Komar.” Tandasnya. “Kiai Komar sekarang jadi Bupati. Kemaren kena kasus korupsi. Kalau memang sudah diatur oleh Tuhan, kenapa beliau masih korupsi? Kenapa? Aku jadi ragu, apa benar kata beliau bahwa Tuhan sudah mengatur rezki? Lha wong Yai Komar aja nggak yakin kok!”

Tiba-tiba Paijo yang sedari tadi diam, membuang napas.
“Nasib kita sama tapi tak serupa..”katanya. “satu tahun lalu, aku dan saudaraku hampir bertengkar gara-gara beda pilihan partai. Untung datang Yai Hasan. Kata beliau, tak ada gunanya. Lebih baik beribadah. Jangan dibodohi politik. Apalagi mati gara-gara politik.”
“Sekarang..” lanjut Paijo. “kiai-kiai kok pada ribut karena politik. Lha, aku jadi bingung.”
“Lha, kamu kenapa kok mumet Jo?” tanya Pailuk. Padahal yang memulai berkesah, ya Bejo. Bejo sejenak terdiam. Lalu, dia menggeser posisi duduk.

“kemaren..” katanya sambil berbisik. Pailuk dan Paijo saling pandang. Penasaran. Bejo seperti ragu bercerita. “begini ceritanya…”
“terus-terang..” kata Bejo masih seakan berbisik. “Aku terpilih jadi lurah, berkat nyimpan serban pak Yai Fulan!”
Pailuk dan Paijo saling pandang. Kali ini melotot.
“Sekarang ketok`e beliau nggak ampuh lagi. Soalnya, jago beliau kalah telak di pilkadal! Lha, piye sesok? Padahal, aku masih pengen naik lagi..”

Selesai bicara, tiga manusia lelaki itu terdiam. Tak ada suara. Kang Doel yang mengambil piring kotor, tercenung. Tak biasanya tiga pelanggan setianya itu bengong begitu.
Jangan-jangan memang disengaja sama penulisnya ya?! Batin Kang Doel menebak-nebak.
“Heran, nasib kita kok sama ya??!” tiba-tiba Pailuk memulai bersuara. “Bisa-bisanya kita ngobrolin politik dan kiai?!”
“Paling-paling penulisnya lagi nggak ada kerjaan Luk!” sahut Bejo.

“Kurasa tidak,”tolak Paijo,”Mungkin.., mungkin sang penulis mengalami hal sama dengan kita! Bingung!!! Huahaaha!!”

Tiga manusia lelaki itu terbahak. Hanya Kang Doel yang tidak. Dia masih tertegun di pintu. Apa gerangan yang sedang terjadi? Batinnya. Dia berharap sang penulis tidak sedang salah tulis. Begitu harapnya. 10 November 2008.

Komentar

  1. Huhahahaha, apek-apek, semakin matang aja tulisanmu. Buktikan Mam omongannya suraji salah kalau cerpen kamu itu selalu hanya seputar perempuan dan selalu didahului oleh pertanyaan wekekekkeke

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer