Kesadaran yang tidak Sadar
Sebenarnya, keinginan berhenti merokok itu sudah lama.
Tapi, hal itu tidaklah semudah
membuka tikar pandan di halaman.
Hingga suatu hari, datanglah seorang teman. Mula-mula, keinginan ini ingin diutarakan. Entah kenapa, teman ini sudah banyak bicara tentang metode khas berhenti merokok.
membuka tikar pandan di halaman.
Hingga suatu hari, datanglah seorang teman. Mula-mula, keinginan ini ingin diutarakan. Entah kenapa, teman ini sudah banyak bicara tentang metode khas berhenti merokok.
Ah, kadang-kadang, Tuhan mengabulkan doa kita tanpa diduga. Barangkali, di
belakang temanku ini, ada malaikat yang sengaja menggiringnya kemari. Kami
duduk di ruang tamu.
“Kamu
ingin gak, berhenti merokok?” katanya. Aku mengangguk.
“Itulah
yang kupikirkan, akhir-akhir ini, teman,” imbuhku penuh harap. Temanku ini manggut-manggut.
“Makanya, bersiaplah. Aku
ini lagi mendapat ilmu baru!” katanya penuh semangat. “Ilmu pemunah rokok...”
Wuh, Ilmu Pemunah Rokok?? Bah, serem juga ilmunya.
“Nanti
kita coba sama kamu. Ilmu ini, lumayan ampuh. Dijamin, kau nggak betah lagi
dengan rokok. Jangankan rokok, ngopi aja males!”
Ah,
temanku ini hebat sekali. Jarang-jarang dia seperti ini. Biasanya, kalo nggak
ngomongin cewek, pastilah ngajak debat segala macem. Entahlah, kok kini dia
justru beralih jadi ahli terapis begini. Mungkin otaknya mulai jenuh dengan
kaidah ilmiah.
Blarr! Bukk!!
Sebungkus rokok jatuh di atas meja. Seorang lelaki jangkung duduk bergabung.
“Bener
nih, Anda punya ilmu pemunah rokok?” serobotnya tanpa basa-basi. Temanku ini
mengangguk.
“Begitulah. Prosesnya tidak rumit. Beberapa titik di kepala dipijit-pijit. Abis
itu, dipastikan ogah ngopi, ogah roko`an. Bahkan, dengar kata rokok saja, jadi
muak.” Jelasnya. Lelaki jangkung buru-buru menggeser kursi lebih rapat.
Penasaran dia.
“Mak..maksudnya, berhenti sama sekali???” katanya gelagapan. Sepertinya shock.
Temanku
ini mengangguk lagi.
“Ah,
kalo harus berpisah dengan rokok, mending nggak usah!” katanya dengan panik.
Aku paham. Paham dengan perasaannya itu. Sebagai sesama perokok, aku pun tidak
rela mesti berpisah. Cukup. Cukup sudah aku dibikin shock fatwa haram. Cukup!
“Mas,
coba kalkulasi..” lanjut temanku ini dengan gigih, dia mengambil sebungkus
rokok di meja, “imajinasikan, perhari misalkan habis satu bungkus, kali 30
hari, berapa ratus ribu hangus sia-sia??”
[bla...bla...bla...]
“Gimana?
Ketimbang, tubuh rusak kan? Lagipula, nggak usah bayar. Gratis, tis!”
“Hehehe,
nggak maulah saya! Terlalu berat bagiku berpisah dengan kopi dan rokok. Mending
kepalaku diplontos wae nek ngono!”
Kami
terbahak. Aku mengambil posisi, ingin urun rembug dalam soal rumit ini.
“Mungkin
berhenti merokok, mustahal,” cetusku kemudian. “tapi menguranginya, ya bisa!”
“Kau
punya cara?” tanya si jangkung. Aku menggeleng.
“Tapi
aku yakin, kata `tidak bisa` hanya perkara `persepsi`”
“Apa kau
bilang? Hanya perkara persepsi??”
“Yap.
Persepsi bahwa dengan hanya dengan rokoklah, kita akan mampu menghalau diri
dari rasa sepi dan menghilangkan stress dari seribu galau.”
Aku
mengambil batang korek api kayu.
“Kalo kita berpersepsi bahwa batang korek ini adalah rokok, dengan
sendirinya persepsi kita tentang rokok akan berubah!!!”
Aku
berhenti berkata. Dua manusia di depanku termangu. Kelihatannya, penjelasanku
masuk akal bagi mereka.
“Mosok
begitu??” kata si Jangkung bingung. Aku mengangguk mantap. Tiba-tiba temanku
mengambil puntung rokok di asbak dan berdiri menantang tatapan mataku.
“Jika
itu soal persepsi saja?!” bentaknya membabi-buta, padahal babi saja nggak
begitu.
“Kenapa
kamu sendiri sulit berhenti merokok hayo?!!”
“Itu kan
persepsimu sajah!” kataku tenang. Wajah temanku tertekuk separuh. “Makanya,
ubah persepsimu, maka aku akan seperti yang kau persepsikan.”
“Gundulmu kuwi! Ngomong kok ngawur!”
“Loh,
itu ada landasan syariahnya, ada nashnya bung!”
“Sudah..sudah..kalian tidak usah berkelahi gara-gara rokok. Oke?” si jangkung coba melerai. Panik melihat kami ribut dengan
muka sama-sama tegang. Padahal ya, kalo lagi diskusi itu biasa.
“Siapa
yang mau bertengkar?” serobot temanku dongkol. Aku terbahak.
“Lhoh, lha itu. Kalian kan sudah bersitegang gawat begitu. Siapa yang tak panic??” sangkal si
Janggung. Temanku yang sedang bawa teknik ampih ini dengan dongkol kemudian berkacak pinggang.
“Aku bersitegang dengannya?? Huh, itu persepsimu sajah!”
[Hahahaa..]
Komentar
Posting Komentar