Pikiran Sadar


menulis tidak bisa
semata bermodal niat
adalah sangat penting
mengenali gairah sebuah tulisan itu sendiri?



Ketika masih aktif di sebuah Pers Mahasiswa, seorang teman geregetan karena susah sekali mengungkapkan diri dalam tulisan, setidaknya memulai sebuah tulisan yang segar dan bagus. Beberapa kali saya melihatnya dalam kondisi frustasi. Maklum, profesinya sebagai wartawan kampus mengharuskannya lihai bermain-main dengan kalimat yang kreatif. Apalagi posisinya sebagi senior kala itu. Dan, proses ini berlangsung lama.

Suatu waktu, saya menemukan satu kumpulan tulisan yang menyengat dan teramat menyentuh. Sampai-sampai, saya sendiri tak sadar sudah hampir selesai melahap kumpulan tulisan ini. Rasanya, pengen tulisan tersebut masih bersambung. Usut punya usut, tulisan tersebut nyatanya karya seorang teman di atas. Saya takjub. Ada apa dengan anak itu sehingga sangat lihai menulis sebegitu rupa?

Saya mencoba mencari jawaban lugas. Adalah mustahil jika benar dialah penulisnya. Saya tahu betul bagaimana kemampuannya menulis. Dari beberapa informasi, barulah saya tahu. Kemudian, saya menemukan satu jawaban memuaskan.

Setelah saya kalkulasi perwaktu, antara karya selesai dibuat, dan sebuah kejadian yang dialami anak tersebut, saya menyimpulkan hal menarik. Teman tersebut bisa menulis dengan luar biasa, karena menuliskannya tanpa sadar!

Alkisah, sang teman tersebut rupanya sedang ditimpa gejolak asmara yang akut. Keinginan memiliki, bertubi dengan ketidakbisaannya memiliki. Mereka terpaut jarak wilayah yang terlampau jauh buat memadu kasih. Ketidakbisaan ini kemudian memaksanya memiliki tumpuan perasaan, demi menggenapi tumpah ruah harapan yang tidak terpenuhi. Segala gerah dan peluh curhat ke berbagai teman sudah tak sanggup mengobati tumpukan kegelisahan. Dan, tulisan adalah satu-satunya alternatif membebaskan diri dari luapan harga diri!

Luar biasa. Saya mengagumi potensi terpendam macam ini. Peristiwa ini juga mengobati diri saya sendiri. Betapa, keindahan dan kemolekan sebuah tulisan hanya akan meresap bila emosi disertakan ulang.

Barangkali, inilah bedanya, antara karya sastra dengan karya akademis. Dan, teman ini menyadarkan saya. Setiap bentuk tulisan, membutuhkan situasi kondisionalnya masing-masing. Bahwa kita mesti mengondisikannya, dan bukan sekedar menunggu mood segera tiba. 28 April 2010

Komentar

Postingan Populer