NGUBEK INSPIRASI DI RUANG TEKNOLOGI?


biar rajin menulis
dan banyak inspirasi
teknologi mutakhir sudah datang?


Minggu-minggu ini, saya tak rajin lagi menulis ngalor-ngidul. Beberapa pekerjaan cukup menyita waktu. Mestinya, semakin lelap dalam kerjaan, maka semakin kuat keinginan berlayar ke alam satu ini. Ya, seperti yang biasa saya alami.

Barangkali saya sedang dirasuki masa transisi yang cukup panjang dan melelahkan. Dan, saya ternyata kelelahan mengantisipasinya segera. Kelelahan semacam ini sebenarnya persoalan yang terlalu saya dramatisir saja tampaknya. Bagaimana tidak, tak satu pun keinginan menulis lebih serius saya rencanakan secara serius di tahun ini.

Tetapi yang pasti—dalam proses panjang yang saya duga kena dramatisisasi tersebut—banyak hal baru ditemui di perjalanan. Misalnya, saya bertemu dengan khazanah teknologi pikiran bernama NLP. Ini memang bukan barang baru, tetapi cukup menarik dikuliti keberadaan pengetahuan satu ini.

Kenapa saya malas, setidaknya enggan menulis? Pertanyaan ini mengawali dugaan saya ketika mendiagnosis diri sendiri. Betapa, setelah mencoba menyimak khazanah NLP, saya bertanya lagi pada diri sendiri bahwa ini tidak sekedar soal malas, enggan atau apapun istilahnya.

Akan tetapi, bagi saya ini soal pengalaman bertemu dengan tuntunan, setidaknya terorisme dalam bentuk pengalaman. Ada satu pengalaman, yang di dalamnya berjejer susunan kalimat, dan kemudian tersangkut di benak saya menjadi semacam teroris. Dan, kemudian menjadi virus akut: keengganan menulis!

Karena itu, tak ada buruknya, pengetahuan praktis semacam ini saya pelajari dulu. Barangkali kekumatan menulis saya bisa disinergiskan ulang. Kita tidak boleh antipati dengan aliran inspirasi darimana pun datangnya.

Selain NLP, ada teknologi lain yang cukup menarik, yakni mengangkat kekuatan level inspirati dengan menggunakan suatu alat yang berisi ritme nada suara yang sudah dikemas dalam bentuk nada tertentu, dan kita tinggal mendengarkannya.

Saya belum tahu betul, apakah zaman benar-benar sudah melek. Sanggup memelekkan apa yang tidak, setidaknya kurang melek; melek tanda-tanda dan gejala, kepekaan yang tidak lagi melalui gemblengan pengalaman. Akan tetapi, cukup menggunakan kemudahan teknologikah?

Anyway, semakin mudah sesuatu, konon, manusia kian kehilangan seni keindahannya? Wew, saya tidak tahu. Tetapi barangkali, manusia harus siap berubah ketika perubahan sudah datang. Darimana pun ia datang, menggilir keadaan yang mungkin sangat berbeda dari yang sebelum-sebelumnya.

Bukankah selain peribahasa, di atas langit masih ada langit, juga masih ada pepatah lain; kadang di bawah kadang di atas. Apakah sudah siap berada di atas? Setelah berada di bawah tangga? April Moving Away, 2010. []

Komentar

  1. wah, menarik sekali ulasannya. seolah menyuguhkan premis dengan kekuatan reflektif yang menawan...

    salam...

    BalasHapus
  2. terima kasih komenne bos,ini catatan perdana pasca terlena dalam pesbuk,hehe

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer