MENULIS

Boleh dibilang,
saya memang suka puisi.
Dan, juga senang menulis puisi.


Saya suka menulis puisi mungkin sejak saya bisa membaca dan menulis. Meski begitu, saya tak pernah terbersit mengirim karya tersebut ke media massa. Rasa senang saya pada puisi mungkin sama setimpal dengan kesukaan saya menulis cerpen—yang juga tak terbersit keinginan berkarya di media massa.

Saya tidak tahu apa alasannya. Yang jelas, saya menyenangi semuanya dengan keseluruhan diri saya. Tetapi, saya menolak setiap orang yang mengatakan saya berbakat di bidang sastra. Saya cuma suka saja, titik. Saya senang menulis, itu saja. Hal semacam ini terus berlangsung hingga saat ini. Setiap kali selesai sebuah tulisan, saya seperti menemukan surga yang hilang. Begitu saja.

Memang, saya pernah didaulat menulis sebuah novel. Saya mengamininya. Ketika itu, saya tenggelam dalam ritme yang aduhai. Dalam satu waktu, saya menyelesaikan tiga novel, hampir bersamaan. Satu novel sudah ditandatangani Mou-nya. Namun, lagi-lagi, setelah semua terselesaikan, saya tinggalkan begitu saja. Padahal, tinggal edit sedikit saja, novel bisa terbit.

Ini memang aneh. Setiap kali selesai dari sebuah tulisan, seperti ada neraka yang lepas yang mengerangkeng dalam dada. Selebihnya, saya sudah tidak memikirkannya lagi. Tergeletak begitu saja.

Tampaknya, menulis bagi saya, selayaknya sahabat berbagi yang akrab dan penuh perhatian. Dan, tak satupun yang boleh menggamitnya dari keberadaan saya. Barangkali, keengganan menulis yang lebih tersebut, disebabkan gaya menulis saya yang menunggu mood saja.

Kalo menunggu mood dimanjakan. Kapan bisa interaksinya dengan karya-karya lain? Yang memiliki sentuhan-sentuhan kelindan dengan para penulis lain? Ah. Lagi-lagi, tulisan ini sangat menggairahkan. Menggairahkan saja. Sekedar itu saja. 27 April 2010

Komentar

Postingan Populer