Dua Film Islami: Dua Bidik yang tak Sejenis



Film Perempuan Berkalung Surban dan
Ayat-ayat Cinta: Realitas Vs Idealisme



Judul di atas mungkin terkesan mengada-ada. Tapi inilah yang penulis rasakan di saat menonton dua film karya monumental anak negeri ini. Bagi analisis penulis, film Ayat-Ayat Cinta (AAC) mengusung idealisme di tengah-tengah realitas yang tak memihak. Sementara Perempuan Berkalung Surban (PBS) menawarkan tokoh-tokoh utama dengan segala kompleksitasnya sebagai manusia.
Pertemuan antara tokoh utama—film AAC—yang muslim dengan wanita non-muslim yang kemudian berakhir dengan kekokohan cinta dan iman, sangat ideal dan mungkin sangat langka dialami banyak orang. Pembaca bahkan boleh jadi memasuki dunia khayal akan ketulusan cinta si tokoh muslim. Betapa hebat dan menggugah ketulusan cinta di sana. Atau mungkin mengkhayalkan seandainya si tokoh adalah dirinya. Demikian pula di bagian lain kisah-kisah dalam film ini yang banyak menyiratkan kondisi ideal yang terlalu sukar diikuti. Batas poinnya bagi penulis, hanya orang-orang tertentu yang punya iman sebrilian itu.

Lain lagi dengan film perempuan berkalung surban. Film ini menggambarkan fenomena yang terjadi; baik dan buruk mengalir harmonis tanpa membumbui penonton pada satu idealisme. Penonton dibiarkan menyimak keseluruhan sisi manusiawinya manusia sehingga menemukan sendiri bentuk idealisme yang terbaik.

Hal yang menarik penulis, ketika tokoh utama dihukum pelemparan batu karena dituduh berzinah. Bu Nyai kemudian berusaha menghentikan dengan berkata, silahkan hukum dia, tapi hanya bagi yang suci dan tak pernah melakukan dosa. Diskusi yang mengena. Semua orang terdiam. Tentu saja, siapa yang tak pernah melakukan dosa dalam kehidupan ini? Menyimak dialog ini, penonton mungkin tanpa sadar berpikir, “iya benar juga sih”. Hal ini mungkin akan dirasakan penonton pada bagian-bagian cerita selanjutnya.

Memang, untuk menjadi manusia beriman, ia pastilah menempuh jalan tidak beriman di masa lalu. Karena hanya dengan pengalamanlah, seseorang mampu mengenal betapa iman itu sangat penting. Iman punya riak dan duri, setiap manusia pastilah punya simpanan dosa di masa lalu. Karena itu, tidak bisa menghukumi orang berdosa secara sepihak, dia salah dan seakan-akan tak terampuni, dizalimi, maupun diasingkan. Yang tak pernah salah dan berdosa hanyalah malaikat. Ini sepertinya ingin diajukan film ini. Sangat realitas.

Yang masih bikin penulis penasaran, adalah kata “surban”. Sejak awal film ini terputar, penulis belum menemukan bagian mana dari film ini yang mewakili judul satu itu. Harusnya, inilah inti film ini.

Di bagian agak akhir cerita, akhirnya penulis menemukan poin maksud surban. Tokoh utama—Anisya—setelah mengalami banyak hal, ujian dan cobaan bertubi, menunggang kuda dan melepaskan surban begitu saja tanpa beban. Sebuah pesan tak langsung bahwa surban bukan bagian dari Islam, tapi memang mengisi peradaban karena ia memang lahir di tradisi Arab yang kental. Dan kita sudah terlalu lama terpalsukan sampai sejauh mana batas ajaran Islam, dan mana yang tradisi Arab. Dengan kata lain, apapun yang dari Arab, pastilah Islam. Sebaliknya, Islam selalu identik dengan Arab.

Penjatuhan surban ini penulis pikir sangat jitu. Ilustrasi surban diilustrasikan apik dengan gaya khas seni yang mementingkan “pemahaman dan perenung” ketimbang pernyataan simbolik yang kentara dan gagah-gagahan. Uniknya, penonton mungkin sama sekali tak terpikirkan tentang fenomena kejatuhan surban ini. Bahwa sesungguhnya inilah intisari film ini.

Inilah bedanya di antara dua film ini. Pertarungan antara iman ideal, dan iman realistis. Iman yang fitrah. Selain itu, meski sama-sama menyimbolkan perempuan berjilbab, dua jilbab dalam film ini sangat berbeda. Antara jilbab yang berbicara langit (ideal) dengan jilbab bumi yang sedang menuju ke langit (realitas)? Dan tentu saya yakin, jika Ayat-Ayat Cinta menuai pujian, Perempuan Berkalung Surban akan memantik kontroversi. Dari sana, diskusi dan relevansi film ini menguat. Mungkin begitu. 05 Januari 2009

Komentar

Postingan Populer