TEKS TAK BERKONTEKS

TEKS TAK BERKONTEKS

Tercetus suatu rahasia. Dan, tak terkeluarkan. Menganggap semua bentuk nilai terbaca dalam teks-teks. Dan, teks-teks tak menyajikan hal substansialitas. Segala sesuatu tampak paradoks. Membaca suatu legenda tak tersentuh. Kemudian rubuh dengan sendirinya seakan tanpa dirubuhkan. Rubuh sendiri. Dengan sendirinya.

Ketukan tuts komputer lebih nyaring dan bising dari biasanya. Pada paruh malam semacam ini, realitas tambah menenggelam. Mencekam. Kau lihat jam di dinding menunjuk tak terbatas meski akhirnya kembali pada batasan. Dan, batasan-batasan itu ternyata tidak untuk membatasi. Demi batas-batas tak berbatas menjadi terlihat. Tercerna.

Kau tahu, sudah lama berada di ruang teks ini. Ada banyak bongkah memercik dan terpercik. Akan kau lihat, ada darah yang berdarah di sudut-sudut teks itu. Akan tetapi, itu bukan darah biasa. Itu adalah darah berharga yang membuat setiap tetesannya sontak membuatmu teringat; ada hal paling utuh di dunia ini. Sungguh.

Kau akan segera terlonjak mendalaminya. Banyak manusia bergulat dan hilir-mudik di dinding dan kamar-kamar teks ini. Ada yang menari-nari; ada yang duduk diam begitu rupa; atau lihatlah ada pula yang berseru-seru membabi buta; ada juga yang diam tekun seiring detak.

Sesekali, di antara para penghuni teks itu saling terulang interaksi.
“Siapa kau?” tiba-tiba terdengar suatu suara. Pintu terkuak begitu lebar. Sesosok wujud muncul. Kami berhadapapan sekarang. “Jelaskan lebih jelas mengenaimu..”

Aku tidak berminat menjawab. Dia menghentakkan kaki kesal.

“Letakkan aroganmu!!” sergahnya sangat keras.”Atau kau kubunuh!”

Aku tertawa datar.

“Aku bisa membuangmu dari ruangan ini.” Sahutku santai. “Bahkan menghapusmu dari sejarah di ruangan ini.”

Dia ternganga. Beberapa saat, dia mengeluarkan suatu benda dari saku. Sebilah belati sangat tajam. Aku balik terkaget-kaget melihatnya.

Rasa-rasanya, aku tidak pernah menskenariokan kejadian ini. Ah, apa aku salah tulis? Aku cek beberapa alur di file tambahan lainnya. Tetap tidak ada.

“Hei, pergi atau kulukai punggungmu!!”

Aku diam lebih lama. Beberapa menit dia mengacung-acung belati. Beruntung datang seseorang di belakang, lalu membisikkan sesuatu. Setelah itu, orang itu pun berlalu begitu saja. Entah mengapa setelah kepergian orang itu, wajahnya sontak melunak. Bahkan tiba-tiba merubuhkan tubuh dan meminta ampun.

“Oh, maafkan saya! Maafkan kelancangan saya tuan,..” cetusnya berkali-kali, dengan membuang belati jauh-jauh ke belakang. “Sungguh, saya benar khilaf. Saya tak menduga jika tuan, ternyata penulis cerita ini. Sungguh, saya khilaf!”

Aku terdiam. Kemudian keluar dari ruangan dengan geram. Berani-beraninya, ada yang melanjutkan tulisanku tanpa ijin dan menjadikannya senarsis kayak begitu. Ah, kemungkinan itulah bedanya antara realitas dan surealitas. Kadang, teks bisa diubah semaunya. Sering pula, meski teks tetap asli dan terjaga keabadiannya, tafsir membuatnya meliuk dari Surabaya mau ke Jogjakarta, kemudian bisa terbelok begitu saja ke kota Padang. Jauh sekali beloknya ya?[]

Komentar

Postingan Populer