KIDUNG PUTRI KIDUL

KIDUNG PUTRI KIDUL
I.
HAMPARAN LUAS Samudera meluas hingga ke tepian mengurung. Sepoi angin menghembus menembus halus meraba pori-pori. Tak terlihat ombak bergejolak. Begitu tenang. Buih meliuk-liuk keperakan berdesir. Begitu ceria. Di sebelah Barat matahari tak lagi meninggi. Warnanya mulai memerah saga. Begitu sendu.

Menurut hikayat, di pantai inilah bersemayam kekuatan harapan berpendar-pendar. Ribuan orang telah menanamnya dari zaman ke zaman. Banyak orang berduyun-duyun bergerombol, kemudian duduk bersila. Khusyuk. Mereka sedang melekatkan beberapa kuntum harapan yang mulai layu. Mereka membawa beberapa jenis kemenyan dan dupa. Konon kabarnya, di dasar samudera nan dalam serta serba misterius itu, di sana sedang bersemayam sesuatu. Sang ratu harapan. Ia berwujud makhluk halus yang begitu anggun dan cantik. Mereka menyebutnya, Nyai Roro Kidul. Manusia datang dengan alasan dan susunan harapan yang tersusun penuh dan lengkap. rapi. Mereka Memohon dan menumpuk setumpuk demi setumpuk harapan yang tak terlaksana untuk putri itu.

Dari zaman ke zaman, situasi itu tidak pernah berubah. Beberapa orang datang, bau kemenyan dinyalakan, bau khas mulai menebar, duduk bersila khusyuk, kemudian tenggelam dalam alunan alam.

Seorang penulis novel Syaikh Siti Jenar bernama Agus Sunyoto pernah bercerita, situasi itu berlangsung sejak kekuasaan kerajaan Mataram mulai bergerak ke panggung tanah Jawa. Di masa sebelum-sebelumnya—terutama Majapahit—situasi mitis ini belum pernah ada.

Sejak berdirinya kerajaan Mataram, benda-benda—keris, pepohonan rimbun, dan tempat-tempat gelap—tiba-tiba menjadi sakral dan keramat. Puncaknya, skaralitas itu kemudian terpusat pada satu bentuk sakralitas. Nyai Roro Kidul.

Dengan benda-benda itu—segala harapan dan keinginan dari kehendak—konon kabarnya akan segera terselesaikan. Terwujud. Umat Jawa kemudian beralih dan dunia realitas kemudian berbondong-bondong menuju pusat non-realistis. Pusat kegaiban. Pusat mistifikasi. Pusat otoritas.




III.
GELAP MULAI Menurun dan merambat di sela-sela sinar matahari yang tampak kian memudar. Tepat pada saat kegelapan mulai sempurna mengepung, kembali terlihat hiruk-pikuk manusia bergerak dalam remang. Di beberapa tempat di gundukan-gundukan pasir yang sedikit kurang rata, terlihat gemercik sinar lampu-lampu mengerlip dari kejauhan. Warung-warung dadakan tampak mempesona dari kejauhan memang.

“Tikar mas?” terdengar seseorang bersuara. Seorang perempuan separuh baya mendekat. Dari balik gelap yang kurang sempurna, sosoknya tampak memelas.

“Oh, tidak. Terima kasih.” Dia garuk-garuk kepala kemudian berlalu dengan langkah gontai.

Manusia. Ya, manusia. Mereka berkelana di jalanan setapak kehidupan. Mereka terlahir ke alam dunia ini, kemudian setelah dewasa sibuk mencari-cari; mencari-cari apa saja. orang miskin dengan sempoyongan mencari kekayaan; orang kaya dengan tergesa-gesa juga mencari kekayaan; orang-orang mudah dengan susah payah menggapai-gapai supaya segera dapat pacar. Jika punya pacar, katanya kehidupan akan lebih membahagiakan; yang punya pacar memilih tak punya pacar, karena hanya bikin pertengkaran sakiti hati dan tak kunjung menenangkan. Sendirian lebih enjoy katanya; kebahagiaan terasa lebih merdeka, begitu alasannya. Orang-orang hilir-mudik berseliweran dengan otak dan benak yang sama; mencari-cari bernama sesuatu itu; kebahagiaan. Ya, itulah satu istilah sederhana dan menjadi masalah besar kehidupan umat manusia dari keseluruhan tujuan umur hidup di dunia fisik.
Pencarian itu bukan suatu hal yang mudah. Yang bosan dan jenuh, kemudian memilih minggat ke alam lain nun jauh tak teraba di ujung sana. Entah di ujung yang mana. Yang bertahan kemudian tetap berjelaga; ada juga yang memilih ke tempat ini. Mereka datang membawa dupa dan kemenyan demi sebuah pertolongan terkuat; ada pula yang sekedar melabuhkan lelah memandang keindahan yang menenggelamkan. Menenangkan.

Pancaroba. Ya, pancaroba namanya. Orang-orang pengangguran menyangka, betapa bahagia orang yang punya kerja; yang punya kerja mengeluh dan memaki karena belum juga cukup untuk kebutuhan sehari-hari; rakyat jelata menduga betapa bahagia menjadi pejabat; yang jadi pejabat bergelut dengan ketidakpuasan harta yang tidak juga utuh. Semuanya terhenti pada satu istilah; menjadi bahagia. Ternyata, sulit menemukan orang bahagia di dunia ini. Orang-orang miskin, pengangguran,.orang kaya; pejabat, semuanya mengeluh pada situasi serupa; ketidakbahagiaan. Oleh karenanya, pantai selatan ini tak pernah reda dari kumpulan manusia pencari kebahagiaan. Oleh karenanya, semua derajat—kaya-miskin, pengangguran, para pejabat tinggi— tidak berlaku di sini. Semuanya berkumpul menjadi rata. Sama.

“Sendirian mas?” kembali terdengar seseorang bersuara. Lagi-lagi seorang perempuan. Dandanannya minor, dengan lipstik tebal di bibirnya. Lihatlah, senyumnya juga terasa minor. Kemungkinan umurnya menginjak 29 tahunan. Sudut dua bola matanya kemudian mengeling. Ting!

“Dingin lo mas…” sambungnya sambil mendekat lebih dekat. Dia meletakkan sebelah tangannya di tengkuk. Tengkuk bergetar dan terasa dingin menggigil.
“Kalau berdua jadi anget lo mas.”
“Maaf, saya sedang mau sendirian.” Dia hendak mengalungkan kedua tangannya. Ada keinginan segera kabur dan berlari. Rasa gemetar semakin manja saja menjalar di sekujur tubuh.Seketika, tangan kanan menepis rangkulan itu. Dia meringis marah.
“Dasar! Diajak jadi anget kok nggak mau!! Huh!” semprotnya memaki tidak manentu. Dengan dongkol, akhirnya dia memilih pergi. Ada perasaan lega menyeruak, sementara malam tambah sempurna saja menetap.

BEBERAPA SAAT Suasana kembali tenang. Sayang, ketenangan itu kembali terganggu. Lagi-lagi datang seseorang di sudut depan. Di tangannya sebuah gitar kecil tergemgam. Dia langsung saja menyanyi. Belum selesai satu lagu, dia berhenti. Seperti drama sebelumnya, dia pun mendekat.
“Aih, cakepnya!!” lontarnya sambil ikut-ikutan duduk. “Main yuk!”
Suaranya terdengar besar dan pecah. Ada perasaan tersentak. Dia menggamit tangan dengan genit. Sial, selalu saja ada gangguan.
Menyebalkan!
“Hei, hei!! Mau ke mana mas??” dia ternyata mengejar sambil teriak-teriak. Rasa takut segera saja menjalar tidak karuan. Hanya dengan berlari sebentar saja, keringat bersimbah membasahi seluruh pakaian. Ada rasa ngilu dan dingin di bagian-bagian kaki. Beberapa orang ternganga menyaksikannya, kemudian terkekeh.

Sial, pantai ini memang penuh dengan makhluk halus berseliweran. Mungkin mereka-lah bagian-bagian penampakan dari sang Nyai itu. Mungkin, ada baiknya bila datang ke tempat ini tidak sendirian. Atau bisa jadi, Nyai Roro Kidul sedang marah, karena aku tidak membawa dupa dan kemenyan. Boleh jadi, dia sedang terbahak-bahak menertawakan ketololan umat manusia.

Sesungguhnya, dari semua permasalahan, sebenarnya ada pertanyaan penting tak terjawab; kenapa apa aku sendiri justru datang ke tempat ini? Apakah ada unsur mistifikasi tertentu di sana?

BLAMM!

Mendadak terdengar suara bedebam sangat keras. Pengen segera berlari, khawatir jangan-jangan drama barusan terulang. Tiba-tiba suasana menjadi sangat terang. Seorang laki-laki muda dengan membawa sapu mesam-mesem memasuki ruangan.

“Wah, kaget ya mas?” sapanya.
“Hehe, sedikit mas Bambang. Lanjutkan saja.”

Tak dinyana, semua kejadian-kejadian itu Cuma fantasi. Di depan, layar monitor menyala terang. Lembur malam ini terbilang menegangkan. Kemungkinan karena diskusi kemarin dengan mas Sunyoto begitu berkesan dan inspiratif,. makanya merasuk ke alam imajinasi terlalu dalam. Mbuh-lah!

Komentar

Postingan Populer