BATAS

“Sebenarnya, tidak ingin ke sana. Apalagi ada di sana. Muak! Muak!”
Wajah-wajah tampak lebam. Membiru. Wajah-wajah terlihat basah. Jalanan hitam kian legam.
“Kamu tahu, sangat ingin ada di sana. Menjadi petualang; berkelindan dalam cerita-cerita; legenda hidup; menjadi kumpulan-kumpulan dongeng. Aku adalah tokoh sejarah!”

Sang wajah terkesan dingin. Lalu berderak. Sedentum emosi bergairah, seolah-olah melayang-layang mengikuti awan.

“Kamu tahu, aku sudah bosan. Jenuh! Berulangkali kutetap bertahan, tapi kubang sejarah tetap membelenggu. Ia menceritakan legenda bisu tak beranjak. Kadang aku ingin keluar dari kisahku sendiri, sebagai diri sendiri. Keluar dan bebas memandang, menikmati; terbang ke bilik-bilik tersembunyi.”
“Loh? Bukankah kamu saat ini telah menjadi seperti yang kamu impikan? Menjadi burung-burung yang bebas berkicau; mencakar dan menerkam?. Bahkan diterpa taringnya hidup? Bertualang dalam kisahmu; di situ ada orang-orang dan makhluk-makhluk mencandaimu; lalu menjelma pendekar dalam sejarahmu sendiri?”
“Tapi aku sudah jenuh. Ingin jebol dari diri sendiri. Ingin terbang jauh. Jauuuuh sekali. Memotret bintang-bintang; memotret wajah-wajah semrawut; yang sendu; yang menangis; yang tersenyum; tertawa. Aku bosan. Muak dengan segala tapal batas angan. Aku menemukan tapak batas itu tak berjejak…”

Lirih angin sore berhembus; mengalun; mengabarkan sekuntum emosi, lelaki yang duduk, berdiri; berbaring; tidur tak sanggup mensenyap.

“Kadang bermimpi, akulah awan putih di atas langit. Awan putih itu terserak di mana-mana membiaskan keperakan memenuhi angkasa. Di jantung setiap orang; mengintip setiap kisah; setiap celoteh sejarah di dalamnya. Kadang, bermimpi menjadi burung-burung camar; berteriak dalam kicau; menjadi burung-burung Nazar; melengking di atas mayat-mayat kehidupan yang resah; gelisah; yang mati. Kadang, ingin bermimpi di atas puncak gunung tertinggi. Berteriak hingga habis; suara-suara yang lalu mengalahkan diri.”

Lirih angin sore masih terus berhembus; mengalir; memanggil;sekuntum emosi berdentang; lelaki yang duduk; terbaring; tidur tak lagi mampu melenakan.

Malam gemerlap oleh megah gelap; menidurkan fantasi lelaki-laki. Lelah hempaskan nyenyak laki-laki muda. Angan; harapan; cita-cita; lelah; lelah. Jawaban demi jawaban tak kunjung menidurkan sang jiwa.

Selamat datang malam! Tungullah! Sesosok manusia di tapal batas perjalanan tengah menghampiri sang waktu untuk menghajarmu. Ia sedang tertidur; tidur panjang yang sudah lama diimpikan. Ia sedang tertidur, menjalani mimpi-mimpi yang belum terlaksana.[]

Komentar

Postingan Populer