"PUTRI KEDATON"

Putri Kedaton

SUDAH Hampir seperempat jam berhenti, namun biskota masih belum juga beranjak. Ada perasaan malas mengamati suasana dan sekitar; di sela-sela kesenyapan pikiran, hilir-mudik para penjaja makanan yang bergilir memainkan perannya di kala bis sedang berhenti; kertas ekslusif berwarna hijau teduh yang tergemgam sudah berkali-kali dilipat dan dipandang, seakan kisah itu masih belum begitu sirna. Atau, barangkali hal itu memang tak pernah ada dan tengah terjadi. Tapi memang semacam itulah, kadangkala memang terdapat sesuatu peristiwa atau kejadian yang terjadi dan terasa seperti mimpi.
“Buku hebat mas! Bacalah!”
seorang lelaki jangkung menawarkan kumpulan buku, sorot matanya tampak kosong, boleh jadi dia habis mabuk. Dia berkaos hitam bergambar band underground, sedangkan di garis-garis ototnya menyembul tato meliuk dan melekuk garisan ular naga terbang.
“Belilah!” tawarnya.
Aku menggeleng dan berusaha tersenyum, meski terasa sangat dipaksakan.
“Oh, terima kasih. Maaf saya sedang kurang berminat.”
“Dibaca-baca dan dilihat dulu-dululah mas! Jangan keburu ditolak!” desaknya. Aku manggut-manggut pelan. Lantas dia berlalu dan melakukan hal sama pada penumpang lainnya. Kulihat sebentar tiga buah buku itu, aku tersenyum ketika melihat sampul, satu kitab mujarobat, kedua kitab porno, dan satunya lagi sebuah tabloid dengan memajang perempuan 99% telanjang. Norak. Ya, meski sudah berumur, masyarakat negeri ini masih suka tenggelam dalam buaian hal-hal semu dan bereaksi kesenangan sebentar saja. Tak pernah mau bertindak konkret, setidaknya sedikit nyata.

Kembali aku melipat kertas ekslusif berwarna hijau teduh itu, suatu bentuk bintik-bintik jerawat kehidupan kemudian menebal tidak teratur. Jerawat, ya jerawat. Ya, suatu format kehidupan dan lika-likunya seumpama jerawat di wajahmu. Ia selalu ada tanpa diminta, boleh saja alasannya karena wajah yang tak terawat. Faktanya banyak yang habis-habisan merawat wajah, namun tetap saja digemari jerawat. Tapi ada juga yang malah jatuh cinta gara-gara seseorang itu berjerawat. Romantis dan eksentrik katanya. Ada-ada saja.

Barangkali hadirnya jerawat memang seumpama takdir. Siapa yang bisa menolak atau sekedar menghambat kedatangannya? Datang untuk berbagi dan pergi meninggalkan warisan irisan bergerigi. Apologis. Akan tetapi, kenyataannya meski sudah disusun sebuah harapan serapi mungkin, buktinya surat undangan pernikahanmu kini tergemgam di telapak tangan. Ya, kau memang bintik-bintik jerawat kehidupan dalam perjalanan dengan meninggalkan lubang-lubang kecil membekas di sana. Mahatakdir. Mahaluka.
###
Umurmu belasan tahun, mendekati detik-detik duapuluhan. Masih semester tiga. Kau termasuk banyak bicara, namun bukan sifat cerewet. Hanya saja, kau selalu punya topik untuk diperbincangkan. Suaramu menggelegar seperti halilintar. Tentu saja, kau model perempuan tomboy. Kita pernah berjalan belasan kilo menelusuri jalan-jalan Malioboro dan kota-kota pinggiran Jogja. Aku suka itu. Aku selalu mengingat itu. Sungguh.
“Jujur saja, awalnya aku nggak terima kalau kamu orang Madura.” Tuturmu pada awal-awal peresmian hubungan. Dan sebenarnya, itu sudah jutaan kali kau bilang, namun aku tak kunjung jemu mendengar kalimat itu. Kau bercerita, bahwa orang Madura itu keras, kaku dan tanpa basa-basi. Kadang-kadang keluar sifatnya yang membuatmu sebal.
“Di kuliah ini, pertama kali ditembak, ya, sama lelaki Madura.” Jelasmu sambil tertawa. “Sama sekali tidak menyenangkan! Huaha..hahaa!!”

Dulu sebelum ke Jawa, aku selalu membayangkan sosok seorang puteri Kedaton yang anggun dan mulus-halus. Aku pernah melihatnya dalam sebuah tampilan di TV, dan aku juga paling suka membaca mengenai cerita-cerita keraton dari buku-buku atau dari dongeng-dongeng yang pernah dilontarkan bapak kala mau tertidur.
Hal itu tambah mendalam melekat menjadi sebuah obsesi, kala pada 1 Suro aku menyaksikan seorang puteri Kedaton sungguhan di pelataran pertemuan Roro Kidul dan Sultan Agung, pantai selatan Parangkusumo. Setahuku, mereka menjadi sehalus dan semulus itu gara-gara sering luluran. Hebat! Dan, kudengar ada yang lebih halus dan mulus dari itu.

Ya, wong Solo. Putri Kedaton sana katanya lebih halus dan lembut dari sekedar itu. Makanya, aku makin menggilai obsesi mendapatkan sosok kekasih putri Kedaton.
“Seharusnya kamu tu orang Solo.” Selorohmu.
“Lha, emangnya kenapa?”
“Kalem. Tutur bahasamu terlampau lembut dan halus. Wagu jadi orang Madura.”
“Ah, itu menurutmu saja!” sergahku tergelak. “Perhatikan dirimu, dirimu saja juga tidak pantas jadi wong Solo.”
Kau pun terbahak-bahak menggelegar kayak guntur.
“Heran, kamu tu keras kepala, mestinya nggak benci-benci amat ma orang Madura. Kan sama!” ledekku.
“Beda! Aku emang keras, namun bukan kasar bukan?”
Aku langsung ngakak. Ada-ada saja bahasamu. Padahal ya sama saja.
###

BISKOTA belum juga beranjak. Tinggal satu jam lagi acara pernikahan itu. Lama-lama ada rasa tergesa-gesaa terbersit mendesak. Ada rasa cemas bakal telat datang. Kertas undanganmu yang berwarna hijau itu memang sejuk dan sedap dipandang berkali-kali, meski tak sesedap apa yang sedang bergolak dalam batin.

Dalam keluargamu, kau satu-satunya kaum perempuan di situ. Juga, anak sulung. Orangtuamu bilang, tinggal kaulah satu-satunya kaum perempuan di kampung yang belum menikah, dan rata-rata teman sebayamu punya anak. Setidaknya, sudah menimang bayi. Masih ada 3 adik di bawahmu. Semuanya, laki-laki berumur belasan.

Tiga minggu lampau, ayahmu meminta suatu pernikahan. Sesuatu yang mustahil. Jangankan punya kerja, kuliah saja masih semester tujuh. Juga, bukan berasal dari kalangan berada. Untuk biaya kuliah ini, orang rumah telah menjual tiga hektar tanah selama tiga tahunan ini.
Menikah? Bagiku langkah yang benar-benar cari mati.

Aku menolak ketika kau meminta kawin lari saja. Kau marah dengan sangat penuh. Di saat-saat begitu, kau bilang betapa kau mengagumi watak lelaki Madura yang akan mati-matian mempertahankan perempuannya ketika mau direbut lelaki yang lain. Dan aku ternyata tidak melakukannya. Kau kecewa. Seminggu berlalu, seorang lelaki duda gagah perkasa dan seorang anggota dewan datang meminangmu. Hingga kemudian, hari menggetarkan itu tiba juga. Ya, sekarang aku sedang akan menziarahi pernikahan itu.

Maaf.
Bukan melukaimu, namun aku tak menyimpan seribu keyakinan cinta nekad bakal membahagiakan. Harga-harga makin melambung. Kehidupan tambah tidak rasional saja. Dan pernikahan itu benar-benar seperti jerawat dengan lubang-lubang kecilnya.
“Mana uangnya mas?” aku terdongak, penjaja jalanan yang barusan. Aku tersenyum.
“Maaf, saya tidak ingin membeli.”
“Enak saja!!” bentaknya. “Anda gimana he?! Sudah, dipegang, dibaca, dan dibukan-buka segala tapi nggak mau beli?!!” katanya marah-marah. Kesal juga. Kutatap saja sorot matanya dengan angkuh. Dia melotot. Sebuah celurit kecil yang selalu setia kubawa kukeluarkan. Dia tampak kaget, meski sama sekali belum ada kata-kata keluar dari mulutku dia segera saja berlalu dan turun dari bis. Aku lega.

Aku jadi geli sendiri memandang celurit kecil itu. Ah, kau salah bilang aku nggak layak jadi lelaki Madura. Lihat saja, preman itu akhirnya berlalu dengan—barangkali—penuh demdam terpendam.

Aku lebih lega lagi ketika biskota mulai bergerak-gerak, beberapa penjaja makanan yang masih di atas dengan tergesa-gesar turun. Tak selang lama, seorang anak kecil berumur sepuluh tahunan naik dengan terburu-buru. Rupanya dia pengamen jalanan. Dengan alat sekenanya, dia mulai bernyanyi. Untung suaranya enak didengar, kombinasi suara dan alat musiknya terdengar lumayan selaras. Mungkin karena sudah kadung terbiasa. Lalu dia mulai menawarkan kantong plastik tanda saatnya dikasih uang.
“Nyanyi Iwan Fals duluya? Bisa tidak?” pintaku kala sudah di samping kursi. Dia mengangguk. “Nyanyikan lagu, Antara kau, dan mantan pacarmu, ya?”

Ia pun bernyanyi.Aku tersenyum-senyum sendiri dengan lagu itu. Ada perasaan geli, kosong dan tampak terasa bodoh. Setelah 2 kali putaran baru dia berhenti. Mukanya langsung berbinar terang manakala sadar, uang yang kukasih nominal puluhan. Aku melihat jam, tinggal setengah jam lagi. Aku mengeluh, bis lagi-lagi berhenti. Seorang lelaki tua masuk dan duduk di sebelah kursi.
“Turun pundi pak?” tanyaku basa-basi dan sengaja dengan bahasa kromo inggil yang kagok..
“Surabaya,. Nduk sendiri?”
“Solo pak.” Pak Tua menggerakkan kepala seperti kaget. Entahlah, mungkin saja dia tahu aku sedang patah hati atau geli dengan suara kagok itu.
“Lha, bukannya barusan lewat terminal Solo?” kali ini aku yang menggerakkan kepala lebih kaget.
“Ma..mak..sud bapak?”
“Lha, tadi kan mestinya bis ini lebih dulu lewat terminal toh nduk?.”

Aku tertegun, dan melihat keluar jendela kaca biskota. Dia benar, sekarang sudah sampai di kota sebelah Solo. Helaan napasku tersengal, lalu tertawa terbahak. Sebuah jerawat besar dan tebal menebal seketika tertebal menebal-nebal. Aku ingat salah seorang senior di kampusku menulis novel dengan judul jerawat gara-gara saking sebelnya dengan makhluk satu itu. Lucu isinya. Ya! Kadang-kadang kehidupan selalu lucu justru pada hal-hal yang sering kali sangat tidak lucu.

Ah! Sebuah raut dan sosok, dengan mulus dan halus timbul dalam benak. Perempuan Kedaton. Itu memang bukan rautmu, itu semua hanyalah seumpama jerawat dan seumpama takdir. Barangkali.

Apologis.
Mungkin ada benarnya, aku memang terlalu wagu jadi orang Madura. Begitu juga dirimu. Lebih pantas kau jadi orang Madura. Andaikan tak ada jerawat menebal, kemungkinan kaulah Putri Kedaton itu. Sialan.

Aku turun dari biskota, panas matahari begitu terik. Rasanya inilah keluguan tuhan mengisahkan kisah selucu ini bagi kita. Tetapi, mungkin dengan cara inilah tuhan menggagalkan ziarah kematian perasaan itu. Sosok halus, mulus, dan sangat anggun. Oh, Putri kedatonku, manisku, cintaku! Ah![]

Komentar

Postingan Populer