Paradigma “Islami”

Paradigma “Islami”
Islami berarti, segala sesuatu yang menjadikan sesuatu bersifat—setidaknya, dianggap memiliki nilai keislaman. Orang-orang tentu akan mengatakan, seseorang yang berkerudung, berjenggot, atau di Indonesia bersarung sebagai orang islam—islami.
Sesungguhnya, apakah sesuatu yang “Islami” itu? Pada bagian lain, seseorang non-islam melakukan perbuatan baik secara tulus demi pengabdian kepada tuhannya, maka apakah dia bisa disebut dengan melakukan sesuatu yang “Islami”?
Kenyataannya, di sini ada ambiguitas dan paradoks antara Islam simbolik dan Islam esensial. Lebih banyak—diakui atau tidak—Islami ditekankan pada realitas simbolik. Banyak orang-orang berbondong-bondong lebih sreg pada simbolik, ketimbang yang esensial. Misalnya ini tampak pada tradisi pengkafiran dan penghujatan pada sesama, perusakan rumah-rumah ibadah dan sebagainya, sedangkan agama itu sendiri mengajarkan kesantunan berpikir, berbicara dan berperilaku.
Berangkat dari definsi Islam, maka Islam berarti tunduk-patuh kepada realitas mutlak, yakni Allah SWT. Ini berarti, orang-orang beriman hanya tunduk kepada-Nya—bukan pada ego yang dikenal dengan fanatisme buta misalnya.
Sering terjadi, orang terjebak pada apa yang disebut tunduk pada-Nya, dengan terjebak ternyata tunduk dan mengikuti kemauan ego manusia itu sendiri—emosi, nalar dan kebenaran pribadi yang dianggap terbenar. Fakta konkrit adalah kasus-kasus kekerasan dalam agama. Kekerasan yang sesungguhnya bermuara dari ketundukan manusia pada ego dan fanatisme diri.
Ego-ego inilah penyebab timbulnya ambiguitas dalam beragama. Dalam al-Quran Allah sering kali mengemukakan pada Nabi SAW. bahwa beliau hanya bertugas menyampaikan, sedangkan masalah apakah manusia itu mau sadar ataukah tidak adalah hak Allah mengurusnya. Sebab manusia yang kufur tidak akan pernah sadar dengan kekufurannya sehingga hanyalah orang-orang sadar saja yang akan beriman. Terpenting sudah melakukan tindakan terbaik menyadarkannya.
Maka, sifat “Islami” adalah ketika termuat di dalamnya sifat-sifat keislaman—baik simbolik maupun esensial—yang paripurna, yakni terlahir dari karakteristik simboliknya dan bermuara pada pemahaman esensial. Pemahaman paripurna ini tentu saja menuntun segenap tata pikiran, bicara dan laku pada satu ketundukan, Allah SWT.

Komentar

Postingan Populer